urbanvibe.id – Pemilihan majelis tinggi Jepang baru-baru ini mengungkap fenomena baru yang perlu mendapat perhatian, yaitu munculnya partai sayap kanan ekstrem Sanseito dengan slogan ‘Japanese First’. Fenomena ini mendapat dukungan signifikan di tengah kekhawatiran masyarakat akan invasi imigran dan kondisi perekonomian yang menurun.
Sanseito, yang terbentuk dari tayangan YouTube selama pandemi Covid-19, berhasil meraih 14 kursi di majelis tinggi, bersamaan dengan meningkatnya sentimen populis di Jepang. Ini memicu keprihatinan lebih lanjut bagi pekerja asal Indonesia yang tinggal dan bekerja di Negeri Sakura.
Latar Belakang Munculnya Fenomena ‘Japanese First’
Partai Sanseito, yang baru saja meraih dukungan cukup besar dalam pemilihan majelis tinggi Jepang, telah menciptakan kegemparan di kalangan masyarakat. Dengan slogan ‘Japanese First’, partai ini menekankan pentingnya melindungi mata pencaharian masyarakat Jepang dan berupaya melawan globalisme.
Pemimpin Sanseito, Sohei Kamiya, pernah menyatakan, “Saya tidak mengatakan bahwa kita harus sepenuhnya melarang orang asing atau bahwa setiap orang asing harus keluar dari Jepang.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa meskipun ada sentimen populis, partai tersebut tetap menjaga pandangan yang lebih moderat terkait imigrasi.
Kekalahan Partai Demokrat Liberal (LDP) dalam majelis tinggi semakin memperkuat posisi Sanseito. Sejumlah pengamat menilai, “Sanseito menjadi perbincangan… karena sentimen populis dan anti-asing. Ini lebih merupakan kelemahan LDP dan Ishiba daripada yang lainnya,” menurut Joshua Walker, Kepala Japan Society.
Dampak Terhadap Pekerja Migran dan Kebijakan Imigrasi
Pemerintahan Perdana Menteri Shigeru Ishiba baru-baru ini mengumumkan satuan tugas baru untuk memerangi kejahatan dan perilaku tidak tertib oleh pekerja asing. Selain itu, LDP menyatakan target “nol orang asing ilegal”, sebuah langkah yang dianggap kontroversial dan dapat mempengaruhi banyak pekerja migran termasuk dari Indonesia.
Sebelum pemilihan, pemerintah Jepang menghadapi isu viral terkait Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) asal Indonesia yang dianggap bertindak di luar norma Jepang. Hal ini menyebabkan Kementerian Luar Negeri Indonesia melakukan koordinasi dengan PSHT untuk mencegah kejadian serupa di masa depan.
Jumlah pekerja asal Indonesia di Jepang mencapai 199.824 orang, yang merupakan 5% dari total warga asing dan 0,16% dari total populasi Jepang. Jumlah ini meningkat lebih dari 15% dalam enam bulan terakhir, dan situasinya semakin menantang di tengah meningkatnya sentimen anti-imigran.
Sentimen Sosial dan Ekonomi Terhadap Pekerja Asing
Frustrasi masyarakat Jepang terhadap kondisi ekonomi dan kenaikan harga barang dapat memicu ketidakpuasan lebih lanjut terhadap sosok imigran. Kamiya menegaskan, “Publik akhirnya menyadari bahwa media salah dan Sanseito benar”, sebuah pernyataan yang menunjukkan bahwa ada kesepahaman baru di antara pemilih terkait kekhawatiran mereka.
Dengan meningkatnya jumlah wisatawan ke Jepang, pertumbuhan harga juga mulai menjadi masalah bagi masyarakat lokal, yang akhirnya dapat berimbas pada pendapat publik terhadap pekerja asing. Riset menunjukkan bahwa 29% pemilih menganggap jaminan sosial dan penurunan angka kelahiran sebagai kekhawatiran teratas mereka, bersamaan dengan masalah imigrasi yang juga menjadi perhatian.
Oleh karena itu, penting bagi pekerja Indonesia untuk lebih memahami konteks sosial dan politik di Jepang. Dengan meningkatnya pernyataan populis dan sikap xenofobia, langkah hati-hati dalam beradaptasi dengan budaya lokal menjadi semakin krusial.