urbanvibe.id – Toxic positivity muncul sebagai istilah yang sering diperbincangkan dalam konteks kesehatan mental dan hubungan antar manusia. Sikap ini mengajak individu untuk selalu berpikir positif, meskipun dalam situasi yang sangat sulit.
Meskipun niat baik mendasari sikap ini, toxic positivity dapat berakibat negatif, membuat individu merasa terisolasi daripada didukung dengan cara yang realistis.
Apa Itu Toxic Positivity?
Toxic positivity mengacu pada pandangan bahwa seharusnya kita selalu bersikap positif dan mengabaikan emosi negatif. Istilah ini sering muncul dalam situasi ketika seseorang mengalami kesulitan besar, seperti kehilangan atau kegagalan.
Ungkapan seperti ‘Tetap positif!’ atau ‘Segala hal akan baik-baik saja!’ sering kali dianggap menenangkan, tetapi pada kenyataannya, dapat menciptakan tekanan bagi individu untuk tidak mengakui emosi mereka. Hal ini sering berakibat pada individu merasa harus menyembunyikan perasaan negatif, menciptakan jarak dalam hubungan mereka.
Sebagai contoh, ketika seseorang merasa tidak memiliki ruang untuk mengekspresikan kesedihan atau kemarahan, hal ini dapat menyebabkan perasaan terasing dari teman, keluarga, atau pasangan.
Dampak Negatif dari Toxic Positivity
Sikap toxic positivity sering menciptakan harapan yang tidak realistis. Ketika seseorang terus-menerus didorong untuk bersikap positif, mereka dapat merasa bersalah atau malu atas perasaan negatif yang mereka alami.
Hal ini bisa berujung pada peningkatan stres dan kerentanan emosional. Dalam konteks hubungan, salah paham dapat terjadi, dengan pasangan merasa seolah pasangannya enggan mendengarkan keluh kesah mereka, yang berpotensi merusak kepercayaan dan keterbukaan.
Toxic positivity tidak hanya berdampak pada hubungan romantis, tetapi juga dapat menciptakan rasa kesepian di dalam pertemanan dan keluarga. Individu merasa tidak dapat mengungkapkan perasaan yang sebenarnya, sehingga berisiko mengalami keterasingan dari orang-orang terdekat.
Cara Mendisiplinkan Sikap Toxic Positivity
Menghadapi toxic positivity dimulai dengan pengakuan bahwa semua emosi adalah valid. Penting untuk menciptakan ruang aman di mana setiap individu bisa mengekspresikan perasaan mereka tanpa takut akan penilaian.
Sebaliknya dari memberikan nasihat yang selalu bernada positif, menawarkan dukungan dengan mendengarkan perasaan orang lain tanpa berusaha untuk mengubah situasi akan lebih baik. Empati menjadi kunci dalam menjaga komunikasi yang sehat.
Edukasi tentang pentingnya kesehatan mental juga perlu ditingkatkan agar individu dapat memahami dan menghargai komunikasi terbuka dan jujur dalam hubungan. Dengan menciptakan budaya yang menghargai emosi, kita dapat membangun hubungan yang lebih sehat dan saling mendukung.