urbanvibe.id – Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Dharma Oratmangun, menegaskan pentingnya pembayaran royalti terhadap suara alam yang digunakan di restoran dan kafe. Pernyataan ini muncul sebagai respons terhadap praktik penggunaan suara alam untuk menghindari kewajiban royalti musik yang berlaku.
Dharma mengungkapkan bahwa rekaman suara alam memiliki hak yang harus dihormati, termasuk hak dari produser rekaman. Oleh karena itu, pelaku usaha diwajibkan untuk tetap membayar royalti.
Pemahaman Tentang Royalti Suara Alam
Dharma Oratmangun menjelaskan bahwa para pelaku usaha kini mulai beralih menggunakan suara alam, seperti suara burung, untuk menghindari kewajiban royalti musik. Ia menegaskan, “Putar lagu rekaman suara burung, suara apa pun, produser yang merekam itu punya hak terhadap rekaman fonogram tersebut, jadi tetap harus dibayar.”
Ia juga memperingatkan bahwa tidak hanya untuk penggunaan suara alam, restoran dan kafe yang menggunakan lagu-lagu internasional tetap berutang royalti. “Harus bayar juga kalau pakai lagu luar negeri. Kita terikat perjanjian internasional,” katanya.
Dharma menekankan perlunya solusi yang adil dengan membayar royalti yang sesuai setiap kali suara yang dilindungi digunakan, guna menghormati hak cipta.
Tanggapan Terhadap Narasi Menghindari Royalti
Menanggapi kritik yang menganggap pembayaran royalti sebagai beban bagi pelaku usaha, terutama usaha kecil, Dharma merasa perlu untuk meluruskan kesalahpahaman ini. “Saya menyayangkan munculnya narasi bahwa pembayaran royalti dianggap memberatkan pelaku usaha,” ungkapnya.
Ia menjelaskan bahwa kewajiban ini adalah bentuk penghormatan terhadap hak pencipta. Dharma lebih lanjut mencatat, “Bagaimana kita pakai sebagai menu tapi enggak mau bayar? Jangan bangun narasi mau putar rekaman suara burung, suara alam, seolah-olah itu solusi.”
Ia juga berpendapat bahwa ide bahwa royalti dapat membunuh usaha kecil, seperti kafe, adalah salah. “Ada narasi yang sengaja dibangun keliru, seakan-akan (kami) mau mematikan kafe,” tegas Dharma.
Langkah Hukum Terhadap Pelanggaran Hak Cipta
Belum lama ini, Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI) mengambil tindakan hukum terhadap restoran Mie Gacoan di Bali atas pelanggaran hak cipta. I Gusti Ayu Sasih Ira, Direktur PT Mitra Bali Sukses, telah ditetapkan sebagai tersangka karena diketahui memutar musik tanpa izin dan tidak membayar royalti sejak tahun 2022.
Tarif royalti untuk restoran dan kafe diatur dalam SK Menteri Hukum dan HAM RI, yang mengharuskan pelaku usaha membayar Rp60.000 per kursi per tahun untuk Royalti Pencipta dan Rp60.000 per kursi per tahun untuk Royalti Hak Terkait. Ini menunjukkan pentingnya pemahaman yang tepat mengenai penggunaan karya yang dilindungi hak cipta.
Dharma Oratmangun berharap agar setiap pelaku usaha selalu menghormati peraturan yang ada, dengan demikian mereka terhindar dari masalah hukum di kemudian hari.