urbanvibe.id – Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Dharma Oratmangun, memberikan penjelasan mengenai pentingnya kewajiban pembayaran royalti yang sering kali disalahpahami oleh pelaku usaha kecil seperti kafe dan restoran.
Dharma meminta agar para pemilik usaha memahami peraturan dan undang-undang yang berlaku sebelum menyebarkan informasi yang tidak akurat tentang royalti.
Narasi Keliru tentang Royalti
Dharma Oratmangun menyatakan bahwa anggapan bahwa kewajiban royalti dapat membunuh usaha kecil adalah informasi yang salah. “Ada narasi yang sengaja dibangun keliru, seakan-akan (kami) mau mematikan kafe. Itu keliru sekali, karena dia enggak baca aturannya, enggak baca Undang-Undang,” tuturnya.
Ia menekankan pentingnya menghargai hak cipta para pencipta lagu dan musik. “Harus bayar dong, itu ada hak pencipta, itu Undang-Undang. Bagaimana kita pakai sebagai menu (hiburan) tapi enggak mau bayar?” ujarnya dengan tegas.
Royalti untuk Semua Jenis Pemutaran Musik
Dalam penjelasannya, Dharma menegaskan bahwa penggunaan suara alam atau kicauan burung juga tetap dikenakan royalti. “Putar lagu rekaman suara burung, suara apa pun, produser yang merekam itu punya hak terhadap rekaman fonogram tersebut. Jadi tetap harus dibayar,” jelasnya.
Ia juga menegaskan bahwa hak-hak terkait pemutaran lagu internasional harus diikuti. “Harus bayar juga kalau pakai lagu luar negeri. Kita terikat perjanjian internasional. Kita punya kerja sama dengan luar negeri dan kita juga membayar ke sana,” tambahnya.
Dasar Hukum Pembayaran Royalti
Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016, tarif royalti untuk pemanfaatan musik secara komersial di restoran dan kafe sudah diatur dengan jelas. Pelaku usaha diwajibkan untuk membayar royalti pencipta sebesar Rp60.000 per kursi per tahun dan royalti hak terkait dengan jumlah yang sama.
Pembayaran royalti merupakan langkah penting untuk menghargai karya pencipta serta membantu memastikan kelangsungan ekosistem musik di Indonesia.